Our deepest fear is not that we are inadequate, our deepest fear is that we are powerful beyond measure. We ask ourselves who am I to be brilliant, gorgeous, talented and fabulous? Actually, who are we not to be? We were born to make manifest the glory of God that is within us and as we let our own light shine, we unconsciously give other people permission to do the same.
Ketakutan terdalam kita bukanlah bahwa kita tidak memadai, ketakutan terdalam kita adalah bahwa kita kuat tak terkira. Kita bertanya siapa aku untuk menjadi brilian, cantik, berbakat dan luar biasa? Sebenarnya, yang kita tidak bisa? Kita dilahirkan untuk membuat memanifestasikan kemuliaan Allah yang ada di dalam kita dan kita membiarkan cahaya kita bersinar, tanpa sadar kita mengizinkan orang lain untuk melakukan hal yang sama.
“life is like a book, God guides our hands and tells what we should write… sometimes He lets us write our own words… sometimes He forces us to write unpredictable words… just be sensitive to hear His voice, and try to write exactly what you hear, ’till the end’ is written on the last page.”
"Hidup adalah seperti buku, Allah menuntun tangan kami dan mengatakan apa yang harus kita tulis ... Dia kadang-kadang memungkinkan kita menulis kata-kata kita sendiri ... Dia kadang-kadang memaksa kita untuk menulis kata-kata tak terduga ... hanya peka untuk mendengar suara-Nya, dan mencoba untuk menulis apa Anda mendengar, 'sampai akhir' yang tertulis di halaman terakhir. "
“teach me to number my days aright, that I may gain a heart of wisdom” Ps 90:12.
Tuhan, ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian sehingga kami beroleh hati yang bijaksana. Mazmur 90 : 12
Saturday, June 22, 2013
Kemuliaan Tuhan atau Kemuliaan Diri?
• Ketika anda sudah kerja keras dan memang benar-benar kerja keras, rasanya, badan pegal dan sakit luar biasa, karena sepanjang hari pergi panas-panasan ketemu orang, nge-lobby, presentasi di depan banyak orang, menghadapi penolakan, kemudian ketika pulang tidak ada seorangpun yang menghargai apa yang sudah dilakukan, bagaimana perasaan anda?
• Kalau sudah kerja keras, kemudian jangankan dihargai apalagi dipuji, malah yang didapatkan adalah dimarahi dan disalah mengerti, apa reaksi anda? Apakah hal itu akan membuat anda berhenti atau tetap saja melakukan apa yang menjadi tanggungjawab karena mengerti bahwa apa yang dilakukan secara jelas diketahui oleh si Dia yang mengetahui segala sesuatu?
• Kalau sudah berhasil meng-goal-kan tugas dalam kepanitiaan, katakanlah hal itu adalah suatu hal yang luarbiasa, kalimat apa yang akan anda katakan pertama sekali kepada orang lain? Hasil usaha anda kah? Atau mengatakan bahwa semuanya hanya karena belas kasihan Tuhan? Honestly, di dalam hati yang terdalam, apakah prestasi itu dirasakan sebagai pencapaian diri atau sebenarnya sadar sungguh bahwa itu adalah anugrah Tuhan?
• Kalau akhirnya sukses, kemudian sebagian nama disebut-sebut karena dirasa berperan besar dalam keberhasilan itu, dan nama anda_yang sebenarnya bekerja keras dan memang berperan besar_tidak disebut-sebut sama sekali, bagaimana perasaan anda? Sedih?
• Apakah anda memiliki kecenderungan untuk menyebut-nyebut diri dan usaha-usaha yang pernah anda lakukan yang membuat anda mengambil kesimpulan bahwa itu karena usaha anda? (Hati-hati dengan keinginan untuk menceritakan dengan tujuan untuk memberi kesan bahwa itu berhasil karena usaha anda dan untuk memberitahukan kepada orang lain bahwa anda sudah bekerja keras). Parahnya, anda tidak berperan banyak, anda kurang rajin, kurang tekun, tetapi anda menceritakan keberhasilan dan usaha-usaha apa yang sudah anda lakukan seakan-akan anda yang paling bekerja keras diantara semuanya, pernahkah anda bersikap demikian?
• Dan kalau anda dipuji di dalam pelayanan, secara jujur kalimat apa yang anda katakan kepada diri dan orang lain?
Dari beberapa pertanyaan di atas, dengan jujur apakah jawaban pribadi kita? Hari ini saya teringat kepada satu dosa yang sangat subtle, sangat berbahaya, yang banyak dilakukan oleh mereka yang mengaku melayani Tuhan, (tetapi sesungguhnya sedang melayani diri) yaitu mencuri kemuliaan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan dan mengambilnya untuk kemuliaan diri. Sembari katanya melayani, tetapi malah sembari berdosa. Celakanya pelayanan menjadi sarana untuk show off kepada orang lain, termasuk menjadi tempat untuk aktualisasi diri. Pelayanan yang dilakukan katanya adalah sesuatu yang sukses, akhirnya hanyalah menjadi suatu kejijikan dimata Tuhan. Sampai pada poin ini, saya sadar betapa sangat tidak mudah mengatakan apa yang pernah dikatakan oleh Yohanes Pembaptis kepada Tuhan Yesus, “biarlah Dia yang semakin besar dan aku semakin kecil.” Bukan hanya semakin kecil, bahkan mungkin menjadi tidak ada, asal Tuhan tetap dipermuliakan, itulah salah satu esensi dari yang namanya pelayanan, dan Yohanes sangat mengerti akan hal ini.
Sesungguhnya, kita ini hamba yang tidak berguna. Jikalau bisa melayani Tuhan, itu hanyalah karena belas kasihan-Nya saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)