05/09/2012
Mungkin adalah sesuatu yang tidak terhindarkan bahwa di sepanjang hidup, kita akan selalu berada di dalam ketegangan antara ortodoksi dan ortopraksis, antara teori dan praktik, antara mempercayai dan menaati, antara mendengarkan dan melakukan, antara mengetahui dan melakukan, antara ingin melakukan dan tidak melakukan.
Dan mungkin karena natur kita sebagai manusia, kita selalu punya kecenderungan untuk menjadi ekstrim. Dan biasanya bukannya malah berusaha menyeimbangkan malah memilih untuk berada di salah satu ujungnya. Tidak heran kadang-kadang kita mendengar orang berkata, “sekarang yang penting itu perbuatan nyata, bukan teori-teori yang bikin kepala kita jadi besar,” atau “yang penting itu pengalaman bukan doktrin.” Sebaliknya “yang penting doktrin (lalu memberi penekanan kepada pengajaran yang solid tapi lupa memberikan kesaksian hidup kepada orang lain).”
Karena kecenderungan-kecenderungan itu, kita sering mendengar orang berkomentar “teori aja, dimana buktinya?,” “dia sih pintar dan tahu banyak hal, tapi perbuatannya tidak menunjukkan satupun dari apa yang ia ketahui itu.” Saya pernah labeling orang yang saya kenal dengan memberi gelar “Mr/Mrs teori” karena saya melihat bahwa memang demikian dia adanya. Believe me, sampai detik ini saya menyesal pernah berpikir seperti itu, karena sesungguhnya kita tidak pernah tahu pergumulan yang terdalam dari setiap orang.
Memang kadang-kadang kita melihat bahwa ortodoksi dan ortopraksis tampaknya terlihat seperti dua hal yang terpisah. Di dalam Khotbah di bukit, Tuhan Yesus pernah memberi pengakuan adanya perbedaan ini, dimana Ia berkata tentang mereka yang mendengar dan memahami arti dari perkataan itu tetapi tidak melakukannya (Mat 7:24-27). Pertanyaannya adalah mengapa kita tidak selalu mengalami hubungan yang erat diantara dua hal tersebut? Kita tidak selalu melakukan apa yang kita katakan dan ketahui sebagai hal yang benar, atau menaati apa yang kita katakan kita percayai. Tetapi bagaimana mungkin hal mengetahui terlihat sebagai satu perkara dan hal melakukan merupakan perkara yang lain? Dan bagaimana mungkin juga keduanya merupakan hal yang sama? Dapatkah anda mengerti arti dari pertanyaan-pertanyaan ini?
Sampai pada titik ini sebenarnya kalau diperhatikan, masalah ini bersifat intelektual sekaligus juga masalah praktis. (yang sekaligus juga masalah yang menciptakan dua blok gereja yang hanya menekankan satu diantaranya, sehingga muncullah kubu yang disebut liberal karena penekanan rasio dan akademis dan muncul kubu kharismatik yang menekankan pengalaman dan emosi tanpa pengajaran).
Menariknya, di bagian yang lain yaitu di Yohanes, Tuhan Yesus melihat bahwa kepercayaan dan ketaatan merupakan satu kesatuan. Dietrich Bonhoeffer pernah mengatakan, “hanya orang percaya yang taat, dan hanya orang yang taat yang percaya.” Steven Garber juga mengatakan hal yang sama, “Mengetahui dan melakukan, mendengar dan menaati merupakan satu kesatuan bagi mereka yang memiliki keyakinan iman Kristen yang sunguh-sungguh dan mendalam.”
Tetapi mengapa kita seringkali tidak mengalami persamaaan antara kepercayaaan dan perbuatan? Mengapa sering mengatakan bahwa kita mempercayai apa yang tidak kita wujudkan dengan kehidupan kita? Mungkinkah sebenarnya dua hal ini menyatu? Memikirkan hal ini kadang-kadang membuat kita frustasi, karena merasa kadang-kadang perbedaan itu terlalu besar. Mungkin itulah mengapa Soren Kiergegaard mengatakan, “begitu sulit untuk mempercayai, karena begitu sulit untuk menaati.” Dan kita harus bersyukur karena sebenarnya kita tidak sendiri. Paulus pernah berkata, “Apa yang saya ingin lakukan tidak saya lakukan. Sebaliknya, apa yang saya benci justru saya lakukan.” Apa yang dia katakan ini adalah suatu pergumulan eksistensial yang dalam di dalam jiwanya dan bukankah ini adalah pergumulan semua orang yang ingin hidup berkenan kepada Tuhan?
James Sire pernah mengusulkan bahwa di dalam kondisi yang seperti ini, ada dua hal yang kita bisa lakukan: kita harus mengarahkan akal budi kita kepada perkara-perkara yang baik_yang benar, mulia, adil, suci, manis, dapat dikagumi, baik dan patut dipuji ( Fil 4:8 )
Kedua kita harus mematikan natur berdosa kita, mematikan semua praktik yang berdosa, dan ini harus dilakukan setiap hari dengan melakukan disiplin-disiplin rohani seperti membaca Alkitab, berdoa, beribadah,berpuasa, menerima Perjamuan Kudus, meditasi dan melayani. Disiplin-disiplin ini merupakan aktivitas, tetapi bukan demi aktivitas itu sendiri, akan tetapi sebagai sarana yang dipakai Allah untuk membentuk ulang diri kita. Karena itu mari setiap hari berdoa seperti Pemazmur “Bulatkanlah hatiku untuk takut akan namaMu.” (86:11).
(hal-hal yang lebih detail tentang ini bisa dilihat di dalam buku James Sire “Habits of the Mind_sudah diterjemahkan Momentum, dan “Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah.”)
No comments:
Post a Comment